Panyalak Puai

PANYALAK PUAI

Setelah rangkaian upacara inti IJAME selama 9 hari 9 malam, lalu diteruskan dengan menunggu atau menjaga balai adat selama 7 hari 7 malam.  Selama itu pula pihak keluarga menjalankan pantangan-pantangan adat seperti melakukan aktifitas di dalam hutan, wajib berpuasa,

Ritual "miwit ulu", Nulak kalangkang, dan panyalak hujung puai menjadi satu bagian rangkaian prosesi kegiatan, yang mana keluarga mengarak sebuah tengkorak kepala seorang tokoh pangkalima (panglima perang yang sakti dan tangguh), sebelum diarak seorang mantir adat terlebih dahulu melaksanakan sebuah prosesi ritual dengan berbagai sesajian diberikan untuk tengkorak tersebut, mantir adat menyampaikan tanuhui/cerita sejarah menggunakan bahasa sastra kuno "pangunraun", setelah selesai barulah pihak keluarga mengarak tengkorak tadi ke arah papuyan (tempat pengkremasian).

Dengan membawa beberapa sesajian, mereka pun menuju ke papuyan dan meletakkan sesajian lalu mengelilingi papuyan sebanyak 7 putaran.. sebelum mengelilingi papuyan seorang mantir adat menyampaikan sebuah syair untuk memanggil roh leluhur mereka, oleh sebab itu pada saat mereka mengelilingi papuyan hampir semua orang yang terlibat disitu kerasukan. Sambil berteriak mereka mengelilingi papuyan, dan setelah sampai putaran yang ketujuh mereka menuju balai dengan cepat sambil terus berteriak dan menari-nari. pada saat mendekati balai adat, dan bunyi musik tetabuhan dari balai adat terdengar membuat mereka semakin bergerak cepat bahkan ada yang berlari layaknya orang kerasukan roh gaib.

Di halaman balai sudah menunggu beberapa orang yang bersiap-siap menombak menggunakan "puai", setelah rombongan tadi sampai mereka langsung melemparkan hujung puai ke arah mereka yang kerasukan tadi. Diyakini oleh mereka apabila tombak hujung puai tadi ada yang mengenai anggota badan, maka yang terkena tombakan tersebut akan berakibat hidupnya tidak akan lama (ime umur). Tengkorak tadi terus diarak kedalam balai dengan diiringi musik tetabuhan, sambil terus menari kerasukan mereka mengelilingi tiang ditengah balai tempat diikatkannya tanduk kerbau dan guci tuak. Ada beberapa mantir menyadarkan mereka dengan memercikkan air "tatungkal", sambil sebagian lain terus menari menggunakan giring-giring dan kain bahalai yang menggambarkan kesukacitaan keluarga karena sudah selesainya tugas mereka mengantarkan jiwa dari orang yang di ijamekan ke tempat yang suci yaitu Sorga atau datu tunyung. Kegiatan menari ini pun dilanjutkan pada malam harinya, yang mana seluruh masyarakat bisa ikut ambil bagian dalam kesukacitaan keluarga bersama-sama menari giring-giring dan tari bahalai.