SEJARAH TARIUK DARI BAMBU

Sejak dulu masyarakat adat memiliki banyak cara menangkap ikan secara Tradisional dan peralatan tangkapnya terus mengalami perkembangan setiap periode. Seperti halnya Nariuk, masyarakat adat awalnya menggunakan  bambu yang diruncingkan untuk mendapatkan ikan di sungai. Pemilihan bambu ini karena lebih tajam dibandingkan bilah kayu yang diruncingkan, Kemudian alat ini mengalami pengembangan, dikarenakan masih belum mampu untuk mendapatkan ikan yang besar maka bambu dipasangkan besi runcing seperti tombak. Kembali terjadi lagi pengembangan karena dirasa masih belum efektif, sehingga ujung tariuk dibuat dari besi panjang yang runcing kebawah dan ukurannya disesuaikan dengan besar bambu yang digunakan. Pemasangan [besi panjang berukuran ± 300-600cm ini membuat tariuk lebih cepat meluncur ke dasar sungai, sehingga untuk mendapatkan ikan yang banyak dan besar menjadi lebih mudah.

Untuk mencari tiang bambu ini tidak bisa sembarangan, karena masyarakat adat biasanya mencari atau memotong bambunya harus pada hari Jumat dan bambu itu haruslah bambu Tamiang. Terlebih dahulu diteliti apabila mata tunas bambu Tamiang tersebut berwarna merah, maka bambu tersebut tidak boleh diambil atau dipakai karena diyakini bisa mencelakai manusia. Untuk menghindari hal tersebut maka kita mencari mata atau tunas yang tidak berwarna merah.  Sejak dahulu masyarakat adat pasti mencari bambu yang memiliki tunas berbintik-bintik menyerupai anak ikan dan tunasnya harus menghadap kearah timur.  Pilih bambu yang sudah agak tua dengan panjang 3-5 meter.  

Bambu ini tidak bisa langsung dipakai karena bambu tersebut harus dijemur terlebih dahulu sampai berwarna kuning. Jika sudah berwarna kuning, kemudian dipanaskan di atas api dan diurut dengan pelepah pisang agar tidak terlalu panas saat dipegang. Bambu tadi diurut secara berulang-ulang, manfaatnya tidak hanya untuk meluruskan tetapi juga untuk memperkuat tiang lingkaran tariuk tersebut. Karena semakin lama diurut diatas api secara berulang-ulang maka semakin kuat dan lurus, kemudian setelah itu dibiarkan dulu selama beberapa hari.

Ada kebiasaan unik Masyarakat adat dalam mengukur panjang tiang tariuk (teteyan) apabila ingin mendapatkan hasil melimpah. Penghitungan ukuran menggunakan istilah yaitu Rajut, Rungkeng, Lanyung, Lawang, dan diukur seukuran genggaman tangan berurutan naik seraya mengucapkan Rajut, Rungkeng, lanyung, Lawang tadi.  Jika sudah sampai ujung bambu dan ternyata sampai pada kata “lawang” ( kosong ) maka dipercaya tariuk bambu ini mempunyai ciri bahwa saat digunakan nanti akan sulit mendapatkan ikan. Oleh karena itu beberapa kebiasaan masyarakat adat ini terus dilakukan sampai saat ini sebagai sebuah kearifan lokal yang terus terjaga dalam praktek kehidupan sehari-hari.

 Kemudian cara memasang atau Masipe besi panjang tadi bisa menggunakan sabut kelapa yang akan dimasukkan kelubang bambu lalu menggunakan perekat dari Tawungengeh atau Kelulut, jika tidak ada Masipe maka kita bisa menggunakan plastik yang dipanaskan dan diteteskan kedalam lubang tariuk bambu tersebut sampai padat. Agar tidak mudah lepas bisa diikat atau dirajut menggunakan rotan dan dibiarkan dulu sampai dingin untuk beberapa hari sampai Tariuk bambu tersebut benar-benar kuat dan bisa digunakan.

Nariuk tersebut dilakukan dengan cara ditombak secara berulang kali  kedalam air atau ke dasar sungai yang diperkirakan daerah banyak ikannya. Teknik mencari ikan dengan Tariuk ini tidak bisa memilih-milih ikan sesuai dengan keinginan kita, karena ditombakkan secara serampangan. Apabila  tariuk kita mengenai ikan, maka bambu tariuk akan bergetar lalu Tariuk harus segera ditekan kebawah agar makin kuat dan tidak lepas. kita harus menyelam untuk mengambil ikan tersebut. Kegiatan Nariuk biasanya dilakukan secara berkelompok oleh masyarakat adat pada musim kemarau.