BERLADANG (1)

Manusia adalah makhluk yang berkebudayaan. Dengan kebudayaan yang dimilikinya manusia tidak hanya dapat menyelaraskan tetapi juga dapat merubah lingkungannya demi kelangsungan hidupnya. Hal ini karena kebudayaan itu, merupakan keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, dan kemampuan-kemampuan lainnya serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Garna, 1996:157). Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa dengan kebudayaan yang berisi seperangkat pengetahuan tersebut oleh manusia dapat dijadikan alternatif untuk menanggapi lingkungannya, baik fisik maupun sosial.

Seperangkat pengetahuan yang diperoleh oleh manusia merupakan suatu proses pembelajaran dari apa yang dilihat, diraba, dirasa dari lingkungannya, yang kemudian diaktualisasikan dalam bentuk perilaku serta diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Ketika manusia mengaktualisasikan perilaku yang didasarkan pada pengelaman-pengalaman yang positif terhadap lingkungannya maka manusia akan menjadi arif, dalam mengelola sistem kehidupan yang berwawasan lingkungan. Nilai-nilai kearifan mengelola sumber daya alam sangat penting, karena secara empiris salah satu aspek fenomena krisis yang paling menghawatirkan bilamana dalam pengeksploitasian sumber daya alam tidak dilakukan secara arif, maka lambat laun akan menjurus kepada kehancuran atau kepunahan. Salah satu contoh model kearifan tradisional dalam pengelolaan hutan adalah kegiatan sistem perladangan berpindah yang dilakukan oleh orang Dayak di Kalimantan.

Sistem Perladangan merupakan bukti kearifan tradisional orang Dayak dalam mengelola sumber daya hutan

Ukur (dalam Widjono,1995:34), menjelaskan bahwa sistem perladangan merupakan salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak. Atas dasar inilah Widjono (1998:77) secara tegas menyatakan bahwa orang Dayak yang tidak bisa berladang boleh diragukan kedayakannya, karena mereka telah tercabut dari akar kebudayaan leluhurnya.

Ave dan King (dalam Arman,1994:129), mengemukakan bahwa tradisi berladang (siffting cultivation atau swidden) orang Dayak sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka yang merupakan sebagai mata pencaharian utama. Sellato (1989) dalam Soedjito (1999:115), memperkirakan sistem perladangan yang dilakukan orang Dayak sudah dimulai dua abad yang lalu. Bahkan Mering Ngo (1990), menyebutkan cara hidup berladang di berbagai daerah di Kalimantan telah dikenal 6000 tahun Sebelum Masehi.

Dalam kontek pengelolaan sumber daya hutan berwawasan kearifan tradisional, pada dasarnya dikalangan orang Dayak memiliki cara-cara tertentu dalam memperlakukan kawasan hutan. Menurut Bamba (1996:14), orang dayak memandang alam tidak sebagai asset atau kekayaan melain sebagai rumah bersama. Konsep rumah bersama ini terlihat dalam setiap upacara yang mendahului kegiatan tertentu yang berkaitan dengan memanfaatkan hutan, dimana selalu terdapat unsur permisi atau minta izin dari penghuni hutan yang akan digarap. Suara burung atau binatang tertentu menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan penghuni alam.