DAYAK MA’ANYAN (3-tamat)

Hal serupa tampak dalam laporan Letnan C. Bangert, (Bangert, 1857 dalam Indische Taal Land- en Volkenkunde (IX) 1860: 156, 173, 181, 216) dalam perjalannya ke daerah Dusun Hilir (Doessoen Ilir) bagian dalam pada tahun 1857,  juga menyinggung istilah Men-jaan. Selain istilah tersebut ia juga lebih sering mempergunakan istilah Sihongers, Pattijers, Duijoes, Karauw dan Djankongs, untuk merujuk orang-orang Ma’anyan di sekitar sungai Telang, Siong, Patai/ Sirau, Paku Karau dan sekitarnya.

Mengenai asal-usul istilah Ma’anyan, masih belum ditemukan kepastiannya. Sutopo Ukit Bae dan kawan-kawan menyatakan ada beberapa pendapat mengenai asal kata Maanyan, yaitu: Menurut Ma’an Wada (tokoh Ma’ayan Paju Sapuluh), kata Ma’anyan berasal dari gabungan kata Ma yang artinya menggunakan adat, dan Anyan yang adalah nama raja terakhir dari kerajaan Nansarunai. Dengan demikian, arti kata Ma’anyan itu adalah sekelompok masyarakat yang menggunakan adat Kerajaan Nansarunai (Ethnic State).

Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa Ma’anyan merupakan gabungan kata Ma yang dapat diartikan paman atau bapak, dan Anyan adalah pemimpin suku sewaktu berimigrasi dari daratan Cina, sehingga arti kata Ma’anyan adalah Bapak Anyan. Sedangkan pendapat lainnya menyatakan bahwa kata Ma’anyan itu berasal dari sebutan orang Biaju (Dayak Ngaju) ketika melihat orang-orang di kampung Tane Karangan Anyan itu selalu membakar kemenyan dalam setiap ritual adatnya. Karena itu mereka menyebutnya Oloh Manyan.

Pendapat yang berbeda juga dikemukakan dalam buku Proyek Penelitian Sejarah dan Kebudayaan Daerah Kalimantan Tengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1977 – 1978. Dalam buku ini dinyatakan bahwa pengertian Ma’anyan itu berasal dari kata Ma yang artinya menuju, dan anyan yang artinya tanah datar. Jadi arti Ma’anyan itu adalah menuju atau pergi ke tanah datar.

Menurut sejumlah peneliti dan tokoh Ma’anyan yang mencoba mendekati sejarah orang Ma’anyan bersumber dari data Tanuhuien menurut sudut pandang sejarah modern, nama-nama perkampungan dalam Tanuhuien merupakan penunjukkan secara mitologis terhadap perjalanan panjang kelompok migran dari Asia Kecil, yang merupakan cikal-bakal orang Ma’anyan. Dalam perjalanan panjang, kelompok masyarakat tersebut singgah di berbagai tempat di Asia Tenggara, wilayah Nusantara dan akhirnya masuk ke Kalimantan Selatan. Pembentukkan perkampungan Lilikumeah merupakan sejarah cikal-bakal kelompok.

Orang Ma’anyan yang sudah berada si Kalimantan Selatan, demikian juga selanjutnya tempat-tempat lainnya dalam Tanuhuien. Lilikumeah berada di Kayutangi, Watang Helang Ranu adalah Babirik atau Danau Panggang, Gunung Madu Dupa adalah Banjarbaru atau Gunung Apam, Gunung Madu Manyan adalah Gunung Keramaian, sementara Nansarunai terletak di Amuntai atau Banua Lawas.

Selain tempat-tempat tersebut, ada beberapa tempat lainnya di Kalimantan Selatan yang pernah didiami oleh orang Ma’anyan, antara lain daerah Tabalong (Waruken, Pangelak dan Dusun Deyah), daerah Hulu Sungai Utara (Halong, Pintap, Gunung Riwut), daerah Hulu Sungai Selatan (Loksado), dan daerah Hulu Sungai Tengah (Labuhan). Dalam perkembangan selanjutnya terjadi lagi perpindahan penduduk ke daerah Barito Timur dan sekitarnya sekarang ini.