SEJARAH ASAL MULA PELAKSANAAN RITUAL IPAKET (1)

Berawal dari sebuah cerita pertemuan 2 orang insan manusia di sebuah pohon besar yang bernama pohon "kayu simali-mali berduri sipatiali". Terjadi percakapan mulai dari tujuan berada dibawah pohon tersebut, kegiatan dll, si wanita pun menanyakan nama pria tersebut dan ternyata namanya adalah Raja Sarana. Anehnya ternyata nama wanita tersebut adalah Ratu Sarani, perbincangan pun semakin akrab dan hangat... Singkat cerita, karena ada kecocokan maka mereka berdua pun menikah dan mempunyai 7 orang anak. Mereka adalah : Talusuk, Talasak, Tampirang, Tamparing, Gadebul, Gadebal dan Ahamdubilah.

Mereka hidup bahagia dan menetap di sekitar pohon besar tersebut. Pada suatu saat sang ayah menyampaikan suatu pesan dan pantangan kepada anak-anaknya, agar jangan sekali-kali memanjat pohon besar tersebut. Apabila mereka memanjat pohon tersebut maka akan terlihat dari atas sebuah kampung yang penuh dengan kegiatan yang tidak terpuji seperti permainan judi (Butur Buyang, Sepak Singki, Adu Nyawung, dll) bahkan pembunuhan-pembunuhan pun sering terjadi..

Lalu beberapa pesan pun disampaikan terkait dengan pohon "Kayu Berduri Sipatiali" tersebut, jangan dipetik daunnya karena bisa berubah menjadi "Baju Layang Angin" sehingga mampu untuk terbang. Rantingnya pun jangan diambil karena bisa berubah menjadi tongkat yang mana mempunyai fungsi ajaib mampu membuat laut kering sehingga terbentuk sebuah jalan, kemanapun tongkat tersebut diarahkan.. Mendengarkan hal tersebut anak-anaknya mengangguk untuk mengiyakan tanda setuju..

Terkait dengan kampung tadi, dikuasai oleh Batara Guru yang sangat menggemari kegiatan-kegiatan yang tidak terpuji tersebut. Bertolak belakang dengan Batara Guru, sang adik yang bernama Jin Maraja Kabul sangat membenci hal-hal yang digemari sang kakak... Merasa tidak nyaman dengan kebencian sang sang adik, Batara Guru pun memutar otak untuk menyingkirkan adiknya. Maka Batara Guru pun mengucapkan sebuah mantra ALIMU TATULAK JIN "bagal salilal badiri, engkau lari kedalam hutan tiada kelihatan lagi"  Setelah disebutkan mantra tersebut Jin Maraja Kabul pun langsung hilang dan Batara Guru bebas melakukan keinginannya.

Beralih cerita ke keluarga Raja Sarana. Pada saat kedua orang tuanya pergi ke suatu tempat, salah seorang anak muncul rasa penasaran dengan kebenaran pesan sang ayah dan berkeinginan untuk membuktikannya...

Mereka pun memetik daun tersebut dan -weeessss- terbang lah mereka ke angkasa. Setelah itu mereka mematahkan dahan pohon kayu Simali-Mali Berduri Sipatiali lalu menunjuk kearah kampung Batara Guru yang berada diseberang laut, maka kering lah laut yang hanya menyisakan pasir sebagai jalan menuju kampung tersebut. Melihat hal itu terjadi, mereka pun bergegas menuju kampung Batara Guru...

Sesampainya disana, ternyata banyak sekali orang berkumpul melakukan kegiatan berbagai macam jenis perjudian. Rasa keingintahuan yang kuat memancing niat ketujuh anak tersebut untuk mencoba permainan judi yang ada, mencoba pertama kali mendapat kemenangan, kedua kalinya menang, ketiga kali lg mencoba menang lagi, terus dan terus menjadi pemenang, bahkan semua permainan judi yang ada dikampung tersebut mereka selalu menang. Melihat hal tersebut membuat Batara Guru mulai gelisah karena takut kekalahannya menjadi-jadi, ia pun mulai merencanakan hal yang jahat terhadap ketujuh anak tersebut. Batara Guru pun mengumumkan kepada semua orang agar permainan dilanjutkan esok hari dan tempat pelaksanaannya berkumpul di tengah alun-alun..

Keesokan harinya, datang lah ketujuh anak tersebut dengan rasa keyakinan yang tinggi akan menang lagi tanpa ada rasa curiga dengan niat jahat si Batara Guru..

Ada kode dari Batara Guru sebelum memulai seluruh permainan judi tersebut, kode tersebut ternyata adalah sebuah kode untuk menangkap ketujuh anak itu. Batara Guru mengatakan sebelum memulainya akan dibacakan sebuah ayat al Quran... maka mulai lah diucapkan "Talusuk Talasak Tampirang Tamparing Gadebul Gadebal Alhamdobilah".

Mendengar kata-kata itu ketujuh anak tersebut heran bahwa yang diucapkan oleh Batara Guru ternyata nama mereka, bukanlah ayat al Quran. Belum hilang keheranan mereka atas keganjilan yang terjadi, pada ucapan yang ketiga kalinya dengan cepat penduduk kampung itu meringkus ketujuh anak tersebut. Secara reflek mereka pun berupaya sekuat tenaga untuk melepaskan diri, dan bergegas kembali ke tempat asal mereka. Sayangnya si bungsu yang bernama Ahamdubilah berhasil ditangkap dan disiksa, sedangkan keenam kakaknya berlarian tanpa ada daya untuk menolong si bungsu.. Mereka pun pulang dengan kesedihan yang mendalam..

Setelah Batara Guru berhasil menangkap si bungsu, mereka menebasnya dengan senjata tajam dan ternyata ahamdubilah tidak mati, ditusuk dengan tombak pun tidak terjadi apa-apa pada ahamdubilah, berulang-ulang mereka berupaya membunuh ahamdubilah tetap saja selalu gagal. Berpikirlah Batara Guru untuk mencoba membakar si ahamdubilah, dan ternyata menjadi abu tetapi setelah mereka menyapu debu tersebut, secara tiba-tiba dari onggokan abu itu muncul seekor ayam jago mengepakkan sayapnya dan berlarian. Betapa kagetnya Batara Guru dan masyarakat melihat kejadian tetsebut, tanpa pikir panjang mereka beramai-ramai menangkap ayam jago yang besar itu. Setelah berhasil mereka pun memasak ayam itu dan memakannya.

( bersambung )