Mengubah Wajah Museum (2-Tamat)

Dengan berkembangnya definisi dan fungsi museum, maka “wajah” museum pun semakin bertransformasi. Misalnya Museum Nasional kini sudah menggunakan digitalisasi koleksi, sehingga siapapun yang ingin melihat koleksi tanpa berkunjung sudah bisa melihat koleksi museum melalui website resminya. Juga penggunaan augmented reality membuat pengunjung yang datang merasakan keasyikan pengalaman “bertualang” di Museum Nasional. Desain bangunan pun sudah ditata sedemikian rupa sehingga nyaman dikunjungi. Bukan itu saja, acara-acara mulai sering dibuat bekerjasama dengan komunitas seni sehingga Museum Nasional menjadi pusat kegiatan seni, yang tentunya berhubungan dengan visi dan misi Museum Nasional.

Museum yang Ramah Pengunjung

Di masa lalu berkunjung ke museum tertentu tidak diperkenankan untuk mengambil foto atau menyentuh benda-benda di museum. Namun pada masa kini, setelah booming Instagram dan media sosial lainnya, paradigma museum sudah mulai bergeser. Museum sudah mulai “ramah” kamera dan terhadap koleksi tertentu, pengunjung malah disarankan untuk memegang dan berinteraksi dengan koleksi tersebut. Bahkan sebagian museum sudah mulai dibuat foto- estetik, atau disediakan titik khusus untuk berfoto dan berekspresi.

Era digitalisasi dan internet serta karakter generasinya tentu saja tidak bisa disamakan dengan generasi terdahulu.  Pergeseran ini juga mempengaruhi cara melihat museum dan pengembangan strategi agar ia dekat dengan masyarakat. Fungsinya sebagai pusat pengkajian dan edukasi mungkin sudah lama tercapai, namun apakah museum sudah memberikan rasa kesenangan terhadap pengunjung? Paradigma dari fokus pada koleksi bergeser menjadi menghadirkan daya tarik atau atraksi. Museum sudah bisa dibilang sebagai tempat wisata, yang juga merupakan “produk” yang harus dipasarkan.

 

 

Tantangan Strategi Pemasaran Museum

Melihat museum sebagai “produk” dan “daya tarik wisata” maka strategi pemasaran museum merupakan hal yang sangat mempengaruhi pengelolaan museum terkait dengan pengunjung. Untuk “menjual” museum terlebih dahulu kita harus tahu siapa target pasar kita. Apa maksudnya? Maksudnya ialah kita harus mengenali karakter, keinginan dan kebutuhan (calon) pengunjung. Untuk mengenali kebutuhan pengunjung, kita harus terbuka terhadap kritik dan saran, bila perlu bertanya dan memahami “bahasa” dan “gaya” mereka.

Revitalisasi Museum Lewu Hante Taniran

            Harus diakui, untuk melakukan perubahan maka mula-mula visi dan misi dan perspektif kita harus berubah. Bercermin pada trend museum masa kini, museum Lewu Hante Taniran pun harus berubah. Dengan tingkat kunjungan yang sangat rendah dan cenderung pasif dalam menarik pengunjung, perubahan strategi harus dilakukan. Kelebihan Museum Lewu Hante yang memiliki cukup banyak koleksi serta posisinya yang cukup strategis berada di area wisata budaya Lewu Hante Taniran, harus diimbangi dengan pendekatan dan program yang efektif untuk menarik lebih banyak pengunjung. Bukan cuma itu saja, agar Museum Lewu Hante Taniran dapat lebih dicintai lagi. Karena itu dibutuhkan saran yang membangun dalam merevitalisasi museum Lewu Hante Taniran kita yang tercinta.