Dilema Overturisme dan Budaya Selfie (Bagian 1)

Pengaruh MediaSosial

Media sosial selain sebagai alat ekspresi pribadi juga merupakan platform yang luas dan efektif dalam beriklan. Pada masa promosi tidak lagi didominasi majalah, koran, radio dan TV, media sosial menjadi alat yang selain murah juga langsung sampai ke tujuan. Dengan mayoritas manusia masa kini selalu mengecek dan mengupdate Instagram atau Facebook misalnya, maka iklan dapat langsung masuk membanjiri laman berandanya. Akhir-akhir ini mereka yang memiliki banyak pengikut di sosial media, alias social media influencer, dengan sengaja disewa untuk mempromosikan tempat-tempat wisata agar laris dan dikunjungi banyak orang. Foto atau video yang mereka unggah sambil berwisata, merupakan sarana yang tak langsung mempengaruhi perilaku calon wisatawan. Perbedaan mendasarnya adalah, mereka dibayar untuk promosi, sedang pengikutnya hanya mengikuti.

Maka banjirlah media sosial dengan foto-foto di tempat wisata, dan lahirlah tempat wisata baru yang menyajikan lokasi yang berwarna-warni yang memanjakan mata dan ...Instagram. Dan orang berlomba-lomba memposting foto terbaik yang memanen likes dan komentar. Bahkan mereka dengan sengaja berwisata untuk pamer. Pergeserannya cukup signifikan, wisata bukan lagi pengalaman yang dinikmati sendiri dan dibagi kepada orang terdekat, melainkan sesuatu yang harus dibagi kepada semua orang saat itu juga. Wisata menjadi aktivitas interaktif, tanpa menunggu berhari, berminggu atau berbulan namun live. Anda bisa berlibur di Bali sambil menyebarkannya di media sosial dan berinteraksi dengan keluarga di rumah, misalnya. Ini adalah sesuatu yang baik dalam pesatnya perkembangan jaman.

 

Budaya Selfie dalam Pariwisata

Selfie berasal dari kata “self” atau diri sendiri. Selfie adalah bentuk ekspresi diri dimana artis dan fotografernya adalah “aku”. Tidak perlu lagi repot-repot minta tolong orang lain, kita dapat mengambil gambar sebanyak-banyaknya tanpa sungkan minta bantuan orang lain. Dalam dunia pariwisata sudah lazim orang berfoto selfie, dan akibatnya peraturan di tempat wisata menjadi lebih longgar. Museum yang umumnya melarang membawa kamera, kini menyarankan, malah menyediakan spot untuk selfie. Pergeseran ini baik karena grafik pengunjung museum seluruh dunia yang kemudian meningkat pesat, yang berimbas pada jumlah karcis yang terjual. Dengan banyaknya selfie di tempat wisata yang diposting di media sosial, arus pengunjung pun bertambah. Namun ini tanpa masalah. Mereka yang berfoto selfie tidak lagi puas dengan cara yang itu-itu saja, sehingga sering membuat tindakan yang membahayakan diri dan merusak. Banyak berita di seluruh dunia yang memberitakan perilaku selfie yang membuat nyawa melayang. Di India, kematian karena selfie merupakan yang tertinggi di dunia, dan terjadi di dekat air (The Jakarta Post, 2017). Kematian karena selfie lain adalah di tempat dengan ketinggian yang berbahaya, seperti gunung, tebing dan atap. Walau sudah ada larangan, turis senang mencari spot yang menantang. Ada yang berfoto dengan binatang yang buas dan berakhir dengan kematian. Di Italia, tahun 2016 lalu, patung Herkules hancur berkeping- keping karena perilaku selfie wisatawan. Dan ini menambah daftar panjang kerusakan tempat wisata disebabkan oleh selfie yang ceroboh.